Jumat, 28 Oktober 2016
"KEINGINAN BERTEMU"
Akan ke manakah angin melayang
Tat kala turun senja nan muram
Pada siapa lagu kuangankan
Kelam dalam kabut rindu tertahan
Datanglah engkau berbaring di sisiku
Turun dan berbisik tepat di sampingku
Belenggulah seluruh tubuh dan sukmaku
Kuingin menjerit dalam pelukanmu
Akan kemanakah berarak awan
Bagi siapa mata kupejamkan
Pecah bulan dalam ombak lautan
Dahan-dahan di hati berguguran
Di sini...
Masih bisa kucium harum tubuhmu yg terjerat lelah
Di sini...
Masih kucoba meraba palung hatimu yg memadamkan perapian cinta
Di sini...
Masih kubingkai bayangmu yang hilang dibalik bayang riuh tawa kemarin malam
Di sini...
Aku terbius wajahmu yg terbaring manja di peraduan
Di sini...
Aku mengundang semilir angin pd doa yg kubaca utk tidurmu
Rabu, 06 April 2016
PUMUMUAN SIMATALU SIKEREI
Simatalu bukanlah hal yang
asing kita dengar, tetapi juga sering didengar dimana saja khususnya orang
mentawai sendiri. Karena simatalu adalah salah satu kisah penyebaran penduduk akibat
adanya perselisihan pada masa musim SIPEU ( sipeu ini sama dengan mangga) lihat ceritanya di sini. http://simatalusikerei.simplesite.com Mentawai yang tersebar di tiga buah pulau yakni, pulau Siberut, Pulau Sikakap,
dan Pulau Sipora.
Lelaki Simatalu umumnya berburu dan
membuka ladang. Sementara kaum perempuan mencari ikan di sungai sungai kecil
yang ada disekitar kampung. Jadi tak mengherankan bila media bermain anak-anak
pedalaman ini sangat luas yaitu hutan dan sungai. Kegiatan ritual budaya
masih kental dan terlaksana seperti biasa, seperti pengangkatan sikerei,
pengobatan, menyambut kelahiran anak, perkawinan dan lainnya. Melihat itu semua miris rasanya.
Kendati Kecamatan Siberut Barat ini khususnya Simatalu merupakan kampung asal
orang Mentawai, namun kondisinya masih sangat tradisional, atau belum tersentuh
pembangunan.
Salah satu alasannya adalah faktor
geografis yang sulit. Tapi lambat laun dengan menjadi satu kecamatan tersendiri
yang dipimpin oleh camat yang putra daerah setempat, Simatalu mulai bergerak.
Seperti halnya pembangunan jalan lingkar dusun beberapa dusun yang dulunya tak
tersentuh pembangunan, sekarang sudah terbangun dengan program P2D Mandiri.
seperti Dusun Saikoat, Limu, Bojo dan beberapa dusun lainnya. bahkan mulai
dirintis jalan penghubung antara satu dusun ke dusun dan satu desa ke
desa.
Penduduk Desa Simatalu berjumlah
3.479 jiwa atau 744 kepala keluarga, sementara desa Simalegi 2.123 jiwa atau
484 kepala keluarga, sedangkan Sigapokna 1.984 jiwa atau 426 kepala keluarga.
Bila dimekarkan sekurang-kurangnya bisa menjadi sepuluh desa. Namun kendala geografis
menjadi halangan klasik yang membuat ide pemekaran harus disikapi dengan
hati-hati.
Yang menjadi salah satu faktor
keterlambatan dan keterbelakangan pembangunan adalah gelombang laut yang besar
dan tinggi. Untuk kedaerah ini operator speed boat-nya harus punya
hitungan pasti dan jelas karena tantangan dan resiko tinggi yang akan dihadapi.
Namun keterbelakangan dan halangan ini sekaligus menjadi nilai tambah
tersendiri bagi Simatalu yang membuat orang selalu ingin mendatanginya.
Daerah Simatalu
merupakan daerah yang masih erat dengan adat istiadat, budaya yang cukup kuat,
salah satunya adalah Turuk langgai yang sangat menari bagi Turis Asing/
Wisatawan. Terutama orang yang belum perna melihat Turuk laggai Daerah
Simatatu.
Turuk (tarian) laggai merupakan
gambaran dari kehidupan alam yang diamati secara seksama dan dipelajari secara
turun-temurun. Turuk laggai pada dasarnya adalah meniru dari tingkah laku hewan
yang sering dijumpai di alam tempat tinggal. Biasanya tingkah laku binatang
tersebut diperhatikan pada saat pergi berburu dan mengerjakan tinungglu atau ladang. Tanpa alam turuk
lagai tidak pernah ada. Karena turuk diambil dari alam dengan melihat tingkah
laku makhluk hidup yang berada di alam.
Setelah pengamatan yang seksama dan
berlangsung lama, maka hasil pengamatan itu dituangkan ke dalam bentuk tarian
(turuk) dalam berbagai bentuk gerak atau uliat yang ditampilkan sebagai hiburan
di berbagai pesta adat di Mentawai.
Kedekatan dengan alam inilah yang
mempengaruhi semua tingkah laku orang Mentawai, termasuk ke dalam seni tari.
Sehingga di berbagai tempat di Mentawai gerakan turuk hampir sama, tetapi
terdapat perbedaan terutama dari segi Musik iringan turukn atau taian. Gerakan
turuk hampir sama, karena meski berbeda tempat hewan yang diamati hampir sama
perilakunya.
Gerakan turuk juga menyimpan nilai
luhur yang penting dalam kehidupan di Mentawai khususnya daerah simatalu.
Seperti turuk uliat kemut mengambarkan cinta kasih, turuk laggai uliat burung
elang dan monyet (bilou) menggambarkan perdamaian antar suku. Nilai-nilai itu
telah dise-rap dalam kehidupan di Mentawai.
Turuk laggai selain sebagai hiburan
pada saat pesta adat juga sebagai hiburan jiwa atau sikmagere. Pada saat ritual
pemanggilan jiwa para anggota uma dilakukan, turuk laggai juga ditampilkan.
Fungsinya agar jiwa yang telah dipanggil tidak menjauh dari badan si
pemiliknya.
Senin, 04 April 2016
PUMUMUAN KEONG DAN BURUNG CAMAR
Dahulu, sebelum pulau Siberut dihuni manusia, pulau
ini hanya sebuah pulau yang gersang dan tandus. Disana hiduplah sekelompok
burung camar. Kelompok burung camar itu dipimpin oleh Si Pokai. Dia dikenal
baik hati dan suka menolong. Karena sifatnya itu Si Pokai sangat dihormati.
Karena tempat mereka tandus, banyak burung camar
yang kepanasan. Bulu-bulu mereka terbakar oleh sinar matahari. Melihat keadaan
itu, Si Pokai menjadi sedih dan selalu berfikir. Si Pokai akhirnya terbang
kepulau lain. Ia berusaha mencari cara agar teman-temannya tidak lagi kepanasan
oleh sinar matahari. Di pulau tempat Si Pokai terbang, ia melihat pohon yang
tumbuh subur di tepi pantai. Si Pokai mendekati pohon itu.
”Pohon ini hanya bisa tumbuh di tepi pantai, jika aku
tanam di daerahku tentu bisa menjadi tempat berlindung bagi saudara-saudaraku”.
Kata Si Pokai dalam hati. Sementara itu, di pulau Siberut teman-teman Si Pokai
sibuk mencari Si Pokai. Mereka sudah mencari kesana-kemari, namun mereka tidak
menemukan Si Pokai.
Akhirnya teman-teman Si Pokai menghentikan
pencariannya. Mereka memutuskan untuk menunggu saja. Mereka berharap Si Pokai
akan kembali. Setelah tujuh hari berlalu, Si Pokai kembali ke teman-temannya.
”Si Pokai pulang ! Si Pokai pulang !”, teriak mereka.
Teman-teman Si Pokai menyambut kedatangannya dengan
gembira. Setelah kedatangan Si Pokai, kelompok camar mengadakan pertemuan. Si
Pokai menceritakan pengalamannya selama di pulau seberang. Selain itu, Si Pokai
juga memperlihatkan buah pohon yang dibawanya.
”Saudara-saudaraku, benda yang saya bawa ini adalah
buah pohon dari seberang. Saya melihat buah pohon ini bisa tumbuh di pantai.
Saya yakin disini bisa tumbuh juga”.
”Mari kita tanam buah pohon ini. Kalau tumbuh pohon
ini akan memberi perlindungan sampai ke anak cucu kita”. Kata Si Pokai.
Mereka pergi menanam buah pohon itu dengan gembira.
Ketika menanam buah pohon Si Pokai mengucapkan mantara:
Simatalu, kuurep ekeu kineiget buat loina nene’
sibailiu bakkat suksukmai sasarainangku
kagogoi ki neneiget teret buru-buru
kaule nu puurau simaruei .
kek murimanua ekeu ake kungan onim “bakkat “
bule ibailiu ekeu repdemenmai sasarainangku
(Artinya: Keberuntungan saya menanam buah pohon ini,
jadilah perlindungan kami, hari ini dan selama-lamanya, tumbuh besarlah segera,
jika engkau hidup akan ku beri nama; “bakkat” biar menjadi kenangan bagi kami
semua)
Buah pohon yang di tanam Si Pokai telah tumbuh menjadi
pohon besar. Si pokai dan teman-temannya merasa gembira. Mereka memberi nama
pohon itu bakat (pohon bakau). Si Pokai berkata, ”Saudara-saudaraku untuk
menyambut kegembiraan ini, kita akan mengadakan punen (pesta adat) sebagai rasa
syukur”.
Punen/Pesta akan segera diadakan. Para camar
mengundang sahabat-sahabatnya untuk ikut memeriahkan pesta itu. Mereka
mengundang Beo, Rangkong, Elang, Tupai, Rusa, Kepiting, Biawak, dan banyak
hewan lainnya. Mereka semua bergembira. Para tamu dihidangkan berbagai
buah-buahan, mereka makan sepuasnya. Setelah itu, Si Pokai juga mengajak para
tamu berkeliling pulau Siberut. Karena banyak makan buah-buahan, selama
berkeliling banyak para tamu itu yang buang kotoran.
Ternyata kotoran mereka juga berupa biji-bijian dari
buah yang mereka makan. Biji-bijian yang tersebar dari buang kotoran para
sahabat burung camar itu, tumbuh menjadi pohon-pohon yang besar dan rindang.
Setelah banyak pohon yang tumbuh, pulau Siberut menjadi hijau dan teduh.
Hewan-hewan lainpun banyak yang hidup disana.
Suatu sore saat Si Pokkai menyusuri pantai, ia
mendengar suara.
“Mau kemana saudara?”, suara itu terdengar sayup.
Si Pokkai berhenti dan menoleh kebelakang. Tetapi
tidak tampak siapa pun. Dari depan ia melihat seekor hewan sedang berjalan
pelan mendekatinya.
“ Siapakah saudara?”, Si Pokkai bertanya
”Saya dari kelompok keong. Kami hidup diakar-akar
pohon yang kalian tanam itu. Kami berharap diijinkan menempati akar-akar itu.
Kami ingin hidup di sana.” Kata labbau pada Si Pokkai.
”Silahkan saudara-saudara hidup disana”, jawab Si
Pokkai.
“Terima kasih”, kata labbau. Lalu Si Pokkai pun
melanjutkan perjalanan
Saat melanjutkan perjalanan, Si Pokkai merasa sakit
kepala dan menggigil. Dia memutuskan untuk kembali ketempat perkumpulan para
camar.
Sesampainya disana, si Pokkai langsung terjatuh.
Melihat itu, para camar terkejut. Seekor burung camar lain yang bernama Si
Loket langsung menyuruh dua camar, Ropru dan Tekap, pergi mencari obat. Lalu
keduanya langsung terbang menuju puncak gunung.
“Wah, ternyata disini banyak pohon,” kata Si Ropru.
”Baru kali ini kita melihatnya”, balas Si Tekap.
Si Ropru dan Si Tekap mulai memetik daun-daun pohon
untuk obat Si Pokai. Setelah itu mereka pulang sambil membawa daun obat yang
baru mereka petik.
Sayangnya saat mereka sampai si Pokkai telah tiada.
Para camar sedih kehilangan pemimpin yang baik hati dan suka menolong. Berita
kematian Si Pokkai tersebar kemana-mana. Kelompok labbau juga mendengar berita
kematian Si Pokkai. Mereka pergi ke tempat kelompok camar untuk menunjukkan
kesedihannya.
Setelah kepergian Si Pokkai, pemimpin kelompok camar
digantikan oleh anak Si Pokai yang bernama Si Boak. Tetapi watak Si Boak
berbeda dengan ayahnya. Ia sangat angkuh dan sombong. Banyak temannya yang
tidak menyukainya.
Pada suatu pagi burung-burung camar berkumpul di
rimbunan pohon bakau. Si Boak datang dan tampil ke depan dengan sombong dan
angkuh.
“Hai para camar, aku sekarang adalah pemimpin kalian.
Aku tidak ingin ada kelompok lain berada di wilayah kekuasaanku. Mereka harus
diusir”, kata Si Boak.
Tiba-tiba terdengar suara labbau, “Hai Saudara Boak,
jangan berkata seperti itu, Tidak mungkin orang hidup tanpa orang lain”.
“Hei siapa kau?”, kata Si Boak yang sedang marah.
“Maafkan saya, bukan saya meremehkan Saudara. Kalau
saudara mengusir kami, dimana kamii akan tinggal?”, kata si Labbau.
“Kau hanya makhluk lemah dan tidak pantas berbicara.
Apa kehebatanmu, ayo kita bertanding!”, tantang Si Boak.
“Saya tantang saudara mengeliling pulau ini. Jika
saudara kalah, maka kami tetap tinggal di akar bakau. Tetapi kalau saya kalah,
kami akan pergi dari sini”, kata Labbau.
”Baik saya setuju, kita bertanding besok”, balas Si
Boak.
Pagi pun tiba. Sebelum pergi ke tempat pertandingan
para keong menyebar di sepanjang jalur pertandingan. Sementara di tempat para
camar, Si Boak sudah menunggu. siap memulai pertandingan.
“Bagaimana keong, kamu sudah siap?”, kata Si Boak
dengan angkuhnya,
“Saya sudah siap”, jawab keong.
Mereka pun bersiap-siap untuk berlari. Pertandingan
dimulai. Si Boak berlari dengan cara terbang. Sedangkan Si Keong merangkak di
tanah. Ketika melewati pohon-pohon Bakau Si Keong mengambil kesempatan untuk
menyelinap ke akar-akar bakau.;
“Dimana Kamu Keong?” tanya Si Boak sambil terbang.
“Saya ada disini”, jawab keong lain yang sedang menunggu
di jalur pertandingan.
Mendengar jawaban itu, Si Boak menambah kekuatan
terbangnya.
“Dimana Kamu Keong?”, tanya Si Boak lagi, setelah
terbang beberapa jauh.
“Ya, saya ada disini”, jawab keong yang lain lagi,
Si Boak semakin menambah kecepatan terbangnya. Dia
khawatir Si Keong dapat mendahuluinya. Setiap dia bertanya, Si Keong selalu
menjawab di depannya.
Sampai akhirnya Si Boak tidak kuat lagi untuk menambah
kecepatannya. Sayapnya mulai letih. Akhirnya ia terjatuh di laut dan dimakan
ikan hiu. Tamatlah riwayat Si Boak dalam pertandingan melawan keong. Kelompok
keong akhirnya bisa mempertahankan tempat tinggal mereka
Setelah kejadian itu, berkumpulah semua Keong
melakukan pesta kemenangan mereka. Sedangkan kelompok camar sedih atas kematian
Si Boak, walaupun mereka tidak suka kepemimpinannya.
Jumat, 01 April 2016
PUMUMUAN SIPEU DI SIMATALU
Hari itu, tampak seorang lelaki setengah baya berjalan seorang diri menuju ke hutan untuk mencari kayu bakar. Saat sedang asyik mengumpulkan ranting-ranting kayu yang sudah kering, tiba-tiba ia melihat sebatang pohon sipeu (nama buah yang terdapat di Siberut Barat). Rupanya, pohon sipeu itu sedang berbuah lebat dan mulai masak. Maka, ia pun membuat garis lingkaran di tanah mengelilingi batang pohon itu.
“Semoga buah pohon sipeu ini jatuh di dalam
lingkaran yang ku buat ini sehingga akan menjadi milikku,” gumam lelaki
setengah baya itu dengan penuh harapan.
Usai berkata demikian, lelaki setengah
baya itu pun pulang sambil memikul kayu bakar yang telah dikumpulkannya. Selang
beberapa saat kemudian, datang pula seorang lelaki lain di tempat itu. Saat
melihat garis lingkaran di bawah pohon sipeu
itu, ia pun tertarik untuk membuat garis lingkaran yang lebih luas.
“Ah, aku juga mau membuat garis
lingkaran di sini. Semoga buah sipeu
ini jatuh di dalam lingkaranku,” harapnya seraya meninggalkan tempat itu.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali si
lelaki yang pertama kembali mendatangi tempat itu. Mulanya, ia merasa senang
karena melihat ada sebuah sipeu
yang sudah masak jatuh di garis lingkarannya. Namun, ketika hendak mengambil
buah itu, tiba-tiba pandangannya tertuju pada sebuah sipeu lain yang lebih
besar dan tergeletak di dalam garis lingkaran yang dibuat oleh orang lain. Pada
saat itulah muncul sifat serakahnya.
“Ah, masak aku yang lebih awal membuat
garis lingkaran hanya mendapatkan buah sipeu
kecil?” gumamnya. “Selagi orang itu belum datang, sebaiknya aku tukar saja buah
sipeu itu.”
Lelaki yang serakah itu cepat-cepat
mengambil buah sipeu
yang besar kemudian menaruh sipeu
kecil miliknya ke dalam garis lingkaran orang lain. Setelah itu, ia bergegas
kembali ke rumahnya dengan perasaan senang. Sepeninggal lelaki paruh baya itu,
lelaki yang kedua pun tiba di tempat itu. Betapa senang hatinya saat melihat
sebuah sipeu
kecil tergeletak di dalam garis lingkarannya. Namun, ketika hendak mengambil
buat itu, ia merasa ada sesuatu yang janggal pada tempat buah itu terjatuh.
Jejak buah yang tercetak di tanah itu tidak sama dengan buah sipeu miliknya.
“Hai, kenapa jejak buah sipeu ini jauh lebih
besar daripada buahnya?” gumam lelaki itu, “Pasti ada sesuatu yang tidak
beres.”
Merasa curiga, lelaki kedua itu pun
segera memeriksa garis lingkaran milik orang lain. Dugaannya benar. Setelah
mencocokkan jejak yang ada di garis lingkaran itu dengan buah sipeu yang dipegangnya
ternyata ukurannya sama persis. Dengan perasaan kecewa, ia pun membawa pulang
buah sipeu
itu. Setiba di rumah, ia kemudian berpikir bahwa seseorang pasti telah berlaku
tidak adil pada dirinya. Ia merasa telah ditipu dan tenggelam dalam perasaan
resah. Tak mau berlama-lama terhanyut dalam perasaan tertipu dan resah, maka ia
pun berniat untuk menyelidiki siapa yang telah melakukan kecurangan itu.
“Ah, aku harus mencari tahu siapa
orang yang telah menipuku itu,” tekadnya.
Keesokan harinya, lelaki yang kedua
itu datang lebih pagi ke hutan. Ia kemudian memanjat pohon sipeu itu lalu mengambil
dua buahnya dengan ukuran yang berbeda. Buah sipeu
yang lebih besar diletakkan di garis lingkaran miliknya, sedangkan buah sipeu yang kecil
diletakkan di garis lingkaran orang lain. Setelah itu, ia bersembunyi di balik
semak-semak.
Tak berapa lama kemudian, lelaki yang
pertama pun datang. Dengan cepat-cepat ia kembali menukar buah sipeu kecil yang jatuh
di lingkrannya dengan buah sipeu
besar milik orang lain. Lelaki kedua yang menyaksikan kejadian itu pun jadi
tahu bahwa orang yang telah menipunya selama ini adalah tetangganya sendiri,
orang sekampung di Simatalu. Karena tidak ingin terjadi pusabuat (perpecahan) di
antara mereka, ia memilih mencari daerah baru untuk tempat tinggal.
Suatu hari, lelaki yang kedua beserta
seluruh sanak keluarganya meninggalkan kampung Simatalu. Mereka berlayar tanpa
arah dan tujuan yang jelas. Setelah beberapa hari mengarungi samudera,
sampailah mereka di suatu daerah yang bermuara dua. Rombongan ini singgah
sejenak di daerah itu dan memeriksa keadaan sekitar. Setelah memeriksa kondisi
cuaca dan iklim, ternyata daerah tersebut dianggap tidak bagus untuk dijadikan
tempat tinggal. Akhirnya rombongan ini memutuskan untuk meninggalkan daerah
itu. Namun, sebelum pergi, mereka menamakan daerah tersebut dengan nama Dua Monga (dua muara).
Rombongan ini akhirnya melanjutkan
pelayaran hingga sampai di suatu daerah yang lain. Ketika kapal mereka tiba
daerah itu, anjing yang mereka bawa mendahului turun. Maka, daerah itu pun
mereka namai Majojok. Setelah mereka memeriksa keadaan alamnya, ternyata daerah
itu tidak cocok juga untuk dijadikan tempat tinggal. Akhirnya, mereka pun
memutuskan untuk mencari daerah lain.
Setelah beberapa hari berlayar,
rombongan pengembara itu sampai pada suatu daerah. Ketika hendak turun dari
kapal, gelang salah seorang anggota rombongan terjatuh. Maka daerah itu mereka
namakan Bele Raksok, yang artinya gelang jatuh. Usai memeriksa keadaan di
sekitarnya, daerah itu juga dinilai masih belum cocok untuk dijadikan tempat
tinggal.
Rombongan pun kembali berlayar hingga
sampai di sebuah daerah di Siberut Selatan. Pemandangan di sekitar daerah
tersebut sungguh mempesona. Pantainya berpasir putih sehingga tampak bagus dan
indah. Mereka pun menamai daerah itu Bulau
Buggei, yang artinya pasir putih. Namun, setelah diteliti, ternyata
daerah itu masih dianggap kurang cocok sehingga mereka pun melanjutkan
pelayaran.
Setelah beberapa hari berlayar,
rombongan itu kembali berlabuh di sebuah daerah di Siberut Selatan. Oleh karena
daerah itu memiliki banyak Muntei,
maka mereka menamainya Muntei. Setelah diteliti, daerah itu juga
tidak juga cocok dijadikan tempat untuk menetap. Akhirnya, mereka kembali
meneruskan pelayaran. Di tengah perjalanan, rombongan itu mulai dilanda rasa putus
asa.
“Sudah banyak daerah kita kunjungi,
tapi belum juga ada yang cocok untuk dijadikan tempat menetap. Ingin kembali ke
Simatalu juga sudah tidak mungkin,” ungkap salah seorang rombongan itu.
“Kalau begitu, sebaiknya kita
meneruskan pelayaran,” ujar seorang anggota rombongan yang lain.
Akhirnya, rombongan itu kembali
melanjutkan perjalanan hingga sampai di sebuah pulau yang banyak terdapat pohon
Paddegat. Mereka
pun menamai pulau itu Pulau Mapaddegat. Pulau ini kini termasuk ke dalam
wilayah Sipora. Karena tempat itu tidak cocok untuk dijadikan tempat menetap,
rombongan ini akhirnya meneruskan pelayaran.
Pelayaran kembali dilanjutkan hingga
rombongan tiba di Tuapejat yang masih termasuk ke dalam wilayah Sipora. Setelah
diteliti, daerah itu memiliki cuaca dan iklim yang bagus sehingga mereka pun
memutuskan untuk menetap di sana. Mereka mulai membangun rumah dan membuka
lahan perkebunan untuk ditanami. Daerah itu terus berkembang sehingga
lama-kelamaan menjadi kampung yang ramai. Hingga kini, Tuapejat menjadi sebuah
nama desa di wilayah Kecamatan Sipora Utara sekaligus sebagai ibukota Kabupaten
Kepulauan Mentawai.
Demikian cerita dari daerah Kepulauan Mentawai,
Sumatra Barat. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa
perpecahan tidak akan terjadi sekiranya lelaki yang pertama mau berbuat jujur.
Dia seharusnya mensyukuri apa yang telah menjadi rejekinya dan menghormati hak
orang lain.
simatalusikerei.simplesite.com
simatalusikerei.simplesite.com
Langganan:
Postingan (Atom)