Dahulu, sebelum pulau Siberut dihuni manusia, pulau
ini hanya sebuah pulau yang gersang dan tandus. Disana hiduplah sekelompok
burung camar. Kelompok burung camar itu dipimpin oleh Si Pokai. Dia dikenal
baik hati dan suka menolong. Karena sifatnya itu Si Pokai sangat dihormati.
Karena tempat mereka tandus, banyak burung camar
yang kepanasan. Bulu-bulu mereka terbakar oleh sinar matahari. Melihat keadaan
itu, Si Pokai menjadi sedih dan selalu berfikir. Si Pokai akhirnya terbang
kepulau lain. Ia berusaha mencari cara agar teman-temannya tidak lagi kepanasan
oleh sinar matahari. Di pulau tempat Si Pokai terbang, ia melihat pohon yang
tumbuh subur di tepi pantai. Si Pokai mendekati pohon itu.
”Pohon ini hanya bisa tumbuh di tepi pantai, jika aku
tanam di daerahku tentu bisa menjadi tempat berlindung bagi saudara-saudaraku”.
Kata Si Pokai dalam hati. Sementara itu, di pulau Siberut teman-teman Si Pokai
sibuk mencari Si Pokai. Mereka sudah mencari kesana-kemari, namun mereka tidak
menemukan Si Pokai.
Akhirnya teman-teman Si Pokai menghentikan
pencariannya. Mereka memutuskan untuk menunggu saja. Mereka berharap Si Pokai
akan kembali. Setelah tujuh hari berlalu, Si Pokai kembali ke teman-temannya.
”Si Pokai pulang ! Si Pokai pulang !”, teriak mereka.
Teman-teman Si Pokai menyambut kedatangannya dengan
gembira. Setelah kedatangan Si Pokai, kelompok camar mengadakan pertemuan. Si
Pokai menceritakan pengalamannya selama di pulau seberang. Selain itu, Si Pokai
juga memperlihatkan buah pohon yang dibawanya.
”Saudara-saudaraku, benda yang saya bawa ini adalah
buah pohon dari seberang. Saya melihat buah pohon ini bisa tumbuh di pantai.
Saya yakin disini bisa tumbuh juga”.
”Mari kita tanam buah pohon ini. Kalau tumbuh pohon
ini akan memberi perlindungan sampai ke anak cucu kita”. Kata Si Pokai.
Mereka pergi menanam buah pohon itu dengan gembira.
Ketika menanam buah pohon Si Pokai mengucapkan mantara:
Simatalu, kuurep ekeu kineiget buat loina nene’
sibailiu bakkat suksukmai sasarainangku
kagogoi ki neneiget teret buru-buru
kaule nu puurau simaruei .
kek murimanua ekeu ake kungan onim “bakkat “
bule ibailiu ekeu repdemenmai sasarainangku
(Artinya: Keberuntungan saya menanam buah pohon ini,
jadilah perlindungan kami, hari ini dan selama-lamanya, tumbuh besarlah segera,
jika engkau hidup akan ku beri nama; “bakkat” biar menjadi kenangan bagi kami
semua)
Buah pohon yang di tanam Si Pokai telah tumbuh menjadi
pohon besar. Si pokai dan teman-temannya merasa gembira. Mereka memberi nama
pohon itu bakat (pohon bakau). Si Pokai berkata, ”Saudara-saudaraku untuk
menyambut kegembiraan ini, kita akan mengadakan punen (pesta adat) sebagai rasa
syukur”.
Punen/Pesta akan segera diadakan. Para camar
mengundang sahabat-sahabatnya untuk ikut memeriahkan pesta itu. Mereka
mengundang Beo, Rangkong, Elang, Tupai, Rusa, Kepiting, Biawak, dan banyak
hewan lainnya. Mereka semua bergembira. Para tamu dihidangkan berbagai
buah-buahan, mereka makan sepuasnya. Setelah itu, Si Pokai juga mengajak para
tamu berkeliling pulau Siberut. Karena banyak makan buah-buahan, selama
berkeliling banyak para tamu itu yang buang kotoran.
Ternyata kotoran mereka juga berupa biji-bijian dari
buah yang mereka makan. Biji-bijian yang tersebar dari buang kotoran para
sahabat burung camar itu, tumbuh menjadi pohon-pohon yang besar dan rindang.
Setelah banyak pohon yang tumbuh, pulau Siberut menjadi hijau dan teduh.
Hewan-hewan lainpun banyak yang hidup disana.
Suatu sore saat Si Pokkai menyusuri pantai, ia
mendengar suara.
“Mau kemana saudara?”, suara itu terdengar sayup.
Si Pokkai berhenti dan menoleh kebelakang. Tetapi
tidak tampak siapa pun. Dari depan ia melihat seekor hewan sedang berjalan
pelan mendekatinya.
“ Siapakah saudara?”, Si Pokkai bertanya
”Saya dari kelompok keong. Kami hidup diakar-akar
pohon yang kalian tanam itu. Kami berharap diijinkan menempati akar-akar itu.
Kami ingin hidup di sana.” Kata labbau pada Si Pokkai.
”Silahkan saudara-saudara hidup disana”, jawab Si
Pokkai.
“Terima kasih”, kata labbau. Lalu Si Pokkai pun
melanjutkan perjalanan
Saat melanjutkan perjalanan, Si Pokkai merasa sakit
kepala dan menggigil. Dia memutuskan untuk kembali ketempat perkumpulan para
camar.
Sesampainya disana, si Pokkai langsung terjatuh.
Melihat itu, para camar terkejut. Seekor burung camar lain yang bernama Si
Loket langsung menyuruh dua camar, Ropru dan Tekap, pergi mencari obat. Lalu
keduanya langsung terbang menuju puncak gunung.
“Wah, ternyata disini banyak pohon,” kata Si Ropru.
”Baru kali ini kita melihatnya”, balas Si Tekap.
Si Ropru dan Si Tekap mulai memetik daun-daun pohon
untuk obat Si Pokai. Setelah itu mereka pulang sambil membawa daun obat yang
baru mereka petik.
Sayangnya saat mereka sampai si Pokkai telah tiada.
Para camar sedih kehilangan pemimpin yang baik hati dan suka menolong. Berita
kematian Si Pokkai tersebar kemana-mana. Kelompok labbau juga mendengar berita
kematian Si Pokkai. Mereka pergi ke tempat kelompok camar untuk menunjukkan
kesedihannya.
Setelah kepergian Si Pokkai, pemimpin kelompok camar
digantikan oleh anak Si Pokai yang bernama Si Boak. Tetapi watak Si Boak
berbeda dengan ayahnya. Ia sangat angkuh dan sombong. Banyak temannya yang
tidak menyukainya.
Pada suatu pagi burung-burung camar berkumpul di
rimbunan pohon bakau. Si Boak datang dan tampil ke depan dengan sombong dan
angkuh.
“Hai para camar, aku sekarang adalah pemimpin kalian.
Aku tidak ingin ada kelompok lain berada di wilayah kekuasaanku. Mereka harus
diusir”, kata Si Boak.
Tiba-tiba terdengar suara labbau, “Hai Saudara Boak,
jangan berkata seperti itu, Tidak mungkin orang hidup tanpa orang lain”.
“Hei siapa kau?”, kata Si Boak yang sedang marah.
“Maafkan saya, bukan saya meremehkan Saudara. Kalau
saudara mengusir kami, dimana kamii akan tinggal?”, kata si Labbau.
“Kau hanya makhluk lemah dan tidak pantas berbicara.
Apa kehebatanmu, ayo kita bertanding!”, tantang Si Boak.
“Saya tantang saudara mengeliling pulau ini. Jika
saudara kalah, maka kami tetap tinggal di akar bakau. Tetapi kalau saya kalah,
kami akan pergi dari sini”, kata Labbau.
”Baik saya setuju, kita bertanding besok”, balas Si
Boak.
Pagi pun tiba. Sebelum pergi ke tempat pertandingan
para keong menyebar di sepanjang jalur pertandingan. Sementara di tempat para
camar, Si Boak sudah menunggu. siap memulai pertandingan.
“Bagaimana keong, kamu sudah siap?”, kata Si Boak
dengan angkuhnya,
“Saya sudah siap”, jawab keong.
Mereka pun bersiap-siap untuk berlari. Pertandingan
dimulai. Si Boak berlari dengan cara terbang. Sedangkan Si Keong merangkak di
tanah. Ketika melewati pohon-pohon Bakau Si Keong mengambil kesempatan untuk
menyelinap ke akar-akar bakau.;
“Dimana Kamu Keong?” tanya Si Boak sambil terbang.
“Saya ada disini”, jawab keong lain yang sedang menunggu
di jalur pertandingan.
Mendengar jawaban itu, Si Boak menambah kekuatan
terbangnya.
“Dimana Kamu Keong?”, tanya Si Boak lagi, setelah
terbang beberapa jauh.
“Ya, saya ada disini”, jawab keong yang lain lagi,
Si Boak semakin menambah kecepatan terbangnya. Dia
khawatir Si Keong dapat mendahuluinya. Setiap dia bertanya, Si Keong selalu
menjawab di depannya.
Sampai akhirnya Si Boak tidak kuat lagi untuk menambah
kecepatannya. Sayapnya mulai letih. Akhirnya ia terjatuh di laut dan dimakan
ikan hiu. Tamatlah riwayat Si Boak dalam pertandingan melawan keong. Kelompok
keong akhirnya bisa mempertahankan tempat tinggal mereka
Setelah kejadian itu, berkumpulah semua Keong
melakukan pesta kemenangan mereka. Sedangkan kelompok camar sedih atas kematian
Si Boak, walaupun mereka tidak suka kepemimpinannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar