Rabu, 06 April 2016

PUMUMUAN SIMATALU SIKEREI


Simatalu bukanlah hal yang asing kita dengar, tetapi juga sering didengar dimana saja khususnya orang mentawai sendiri. Karena simatalu adalah salah satu kisah penyebaran penduduk akibat adanya perselisihan pada masa musim SIPEU ( sipeu ini sama dengan mangga) lihat ceritanya di sini. http://simatalusikerei.simplesite.com Mentawai yang tersebar di tiga buah pulau yakni, pulau Siberut, Pulau Sikakap, dan Pulau Sipora.

Lelaki Simatalu umumnya berburu dan membuka ladang. Sementara kaum perempuan mencari ikan di sungai sungai kecil yang ada disekitar kampung. Jadi tak mengherankan bila media bermain anak-anak pedalaman ini sangat luas yaitu  hutan dan sungai. Kegiatan ritual budaya masih kental dan terlaksana seperti biasa, seperti pengangkatan sikerei, pengobatan, menyambut kelahiran anak, perkawinan dan lainnya. Melihat itu semua miris rasanya. Kendati Kecamatan Siberut Barat ini khususnya Simatalu merupakan kampung asal orang Mentawai, namun kondisinya masih sangat tradisional, atau belum tersentuh pembangunan.
 
Salah satu alasannya adalah faktor geografis yang sulit. Tapi lambat laun dengan menjadi satu kecamatan tersendiri yang dipimpin oleh camat yang putra daerah setempat, Simatalu mulai bergerak. Seperti halnya pembangunan jalan lingkar dusun beberapa dusun yang dulunya tak tersentuh pembangunan, sekarang sudah terbangun dengan program P2D Mandiri. seperti Dusun Saikoat, Limu, Bojo dan beberapa dusun lainnya. bahkan mulai dirintis jalan penghubung antara satu dusun ke dusun dan satu desa ke desa. 

Penduduk Desa Simatalu berjumlah 3.479 jiwa atau 744 kepala keluarga, sementara desa Simalegi 2.123 jiwa atau 484 kepala keluarga, sedangkan Sigapokna 1.984 jiwa atau 426 kepala keluarga. Bila dimekarkan sekurang-kurangnya bisa menjadi sepuluh desa. Namun kendala geografis menjadi halangan klasik yang membuat ide pemekaran harus disikapi dengan hati-hati.

Yang menjadi salah satu faktor keterlambatan dan keterbelakangan pembangunan adalah gelombang laut yang besar dan tinggi. Untuk kedaerah ini operator speed boat-nya harus punya hitungan pasti dan jelas karena tantangan dan resiko tinggi yang akan dihadapi. Namun keterbelakangan dan halangan ini sekaligus menjadi nilai tambah tersendiri bagi Simatalu yang membuat orang selalu ingin mendatanginya.

Daerah Simatalu merupakan daerah yang masih erat dengan adat istiadat, budaya yang cukup kuat, salah satunya adalah Turuk langgai yang sangat menari bagi Turis Asing/ Wisatawan. Terutama orang yang belum perna melihat Turuk laggai Daerah Simatatu. 

Turuk (tarian) laggai merupakan gambaran dari kehidupan alam yang diamati secara seksama dan dipelajari secara turun-temurun. Turuk laggai pada dasarnya adalah meniru dari tingkah laku hewan yang sering dijumpai di alam tempat tinggal. Biasanya tingkah laku binatang tersebut diperhatikan pada saat pergi berburu dan mengerjakan tinungglu atau ladang. Tanpa alam turuk lagai tidak pernah ada. Karena turuk diambil dari alam dengan melihat tingkah laku makhluk hidup yang berada di alam. 

Setelah pengamatan yang seksama dan berlangsung lama, maka hasil pengamatan itu dituangkan ke dalam bentuk tarian (turuk) dalam berbagai bentuk gerak atau uliat yang ditampilkan sebagai hiburan di berbagai pesta adat di Mentawai.

Kedekatan dengan alam inilah yang mempengaruhi semua tingkah laku orang Mentawai, termasuk ke dalam seni tari. Sehingga di berbagai tempat di Mentawai gerakan turuk hampir sama, tetapi terdapat perbedaan terutama dari segi Musik iringan turukn atau taian. Gerakan turuk hampir sama, karena meski berbeda tempat hewan yang diamati hampir sama perilakunya.

Gerakan turuk juga menyimpan nilai luhur yang penting dalam kehidupan di Mentawai khususnya daerah simatalu. Seperti turuk uliat kemut mengambarkan cinta kasih, turuk laggai uliat burung elang dan monyet (bilou) menggambarkan perdamaian antar suku. Nilai-nilai itu telah dise-rap dalam kehidupan di Mentawai.
Turuk laggai selain sebagai hiburan pada saat pesta adat juga sebagai hiburan jiwa atau sikmagere. Pada saat ritual pemanggilan jiwa para anggota uma dilakukan, turuk laggai juga ditampilkan. Fungsinya agar jiwa yang telah dipanggil tidak menjauh dari badan si pemiliknya.




Senin, 04 April 2016

PUMUMUAN KEONG DAN BURUNG CAMAR



Dahulu, sebelum pulau Siberut dihuni manusia, pulau ini hanya sebuah pulau yang gersang dan tandus. Disana hiduplah sekelompok burung camar. Kelompok burung camar itu dipimpin oleh Si Pokai. Dia dikenal baik hati dan suka menolong. Karena sifatnya itu Si Pokai sangat dihormati.
Karena tempat  mereka tandus, banyak burung camar yang kepanasan. Bulu-bulu mereka terbakar oleh sinar matahari. Melihat keadaan itu, Si Pokai menjadi sedih dan selalu berfikir. Si Pokai akhirnya terbang kepulau lain. Ia berusaha mencari cara agar teman-temannya tidak lagi kepanasan oleh sinar matahari. Di pulau tempat Si Pokai terbang, ia melihat pohon yang tumbuh subur di tepi pantai. Si Pokai mendekati pohon itu.

”Pohon ini hanya bisa tumbuh di tepi pantai, jika aku tanam di daerahku tentu bisa menjadi tempat berlindung bagi saudara-saudaraku”. Kata Si Pokai dalam hati. Sementara itu, di pulau Siberut teman-teman Si Pokai sibuk mencari Si Pokai. Mereka sudah mencari kesana-kemari, namun mereka tidak menemukan Si Pokai.
Akhirnya teman-teman Si Pokai menghentikan pencariannya. Mereka memutuskan untuk menunggu saja. Mereka berharap Si Pokai akan kembali. Setelah tujuh hari berlalu, Si Pokai kembali ke teman-temannya.
”Si Pokai pulang ! Si Pokai pulang !”, teriak mereka.
Teman-teman Si Pokai menyambut kedatangannya dengan gembira. Setelah kedatangan Si Pokai, kelompok camar mengadakan pertemuan. Si Pokai menceritakan pengalamannya selama di pulau seberang. Selain itu, Si Pokai juga memperlihatkan buah pohon yang dibawanya.
”Saudara-saudaraku, benda yang saya bawa ini adalah buah pohon dari seberang. Saya melihat buah pohon ini bisa tumbuh di pantai. Saya yakin disini bisa tumbuh juga”.
”Mari kita tanam buah pohon ini. Kalau tumbuh pohon ini akan memberi perlindungan sampai ke anak cucu kita”. Kata Si Pokai.
Mereka pergi menanam buah pohon itu dengan gembira. Ketika menanam buah pohon Si Pokai mengucapkan mantara:
Simatalu, kuurep ekeu kineiget buat loina nene’
sibailiu bakkat suksukmai sasarainangku
kagogoi ki neneiget teret buru-buru
kaule nu puurau simaruei .
kek murimanua ekeu ake kungan onim “bakkat “
bule ibailiu ekeu repdemenmai sasarainangku
(Artinya: Keberuntungan saya menanam buah pohon ini, jadilah perlindungan kami, hari ini dan selama-lamanya, tumbuh besarlah segera, jika engkau hidup akan ku beri nama; “bakkat” biar menjadi kenangan bagi kami semua)
Buah pohon yang di tanam Si Pokai telah tumbuh menjadi pohon besar. Si pokai dan teman-temannya merasa gembira. Mereka memberi nama pohon itu bakat (pohon bakau). Si Pokai berkata, ”Saudara-saudaraku untuk menyambut kegembiraan ini, kita akan mengadakan punen (pesta adat) sebagai rasa syukur”.
Punen/Pesta akan segera diadakan. Para camar mengundang sahabat-sahabatnya untuk ikut memeriahkan pesta itu. Mereka mengundang Beo, Rangkong, Elang, Tupai, Rusa, Kepiting, Biawak, dan banyak hewan lainnya. Mereka semua bergembira. Para tamu dihidangkan berbagai buah-buahan, mereka makan sepuasnya. Setelah itu, Si Pokai juga mengajak para tamu berkeliling pulau Siberut. Karena banyak makan buah-buahan, selama berkeliling banyak para tamu itu yang buang kotoran.
Ternyata kotoran mereka juga berupa biji-bijian dari buah yang mereka makan. Biji-bijian yang tersebar dari buang kotoran para sahabat burung camar itu, tumbuh menjadi pohon-pohon yang besar dan rindang. Setelah banyak pohon yang tumbuh, pulau Siberut menjadi hijau dan teduh. Hewan-hewan lainpun banyak yang hidup disana.
Suatu sore saat Si Pokkai menyusuri pantai, ia mendengar suara.
“Mau kemana saudara?”, suara itu terdengar sayup.
Si Pokkai berhenti dan menoleh kebelakang. Tetapi tidak tampak siapa pun. Dari depan ia melihat seekor hewan sedang berjalan pelan mendekatinya.
“ Siapakah saudara?”, Si Pokkai bertanya
”Saya dari kelompok keong. Kami hidup diakar-akar pohon yang kalian tanam itu. Kami berharap diijinkan menempati akar-akar itu. Kami ingin hidup di sana.”  Kata labbau pada Si Pokkai.
”Silahkan saudara-saudara hidup disana”, jawab Si Pokkai.
“Terima kasih”, kata labbau. Lalu Si Pokkai pun melanjutkan perjalanan
Saat melanjutkan perjalanan, Si Pokkai merasa sakit kepala dan menggigil. Dia memutuskan untuk kembali ketempat perkumpulan para camar.
Sesampainya disana, si Pokkai langsung terjatuh. Melihat itu, para camar terkejut. Seekor burung camar lain yang bernama Si Loket langsung menyuruh dua camar, Ropru dan Tekap, pergi mencari obat. Lalu keduanya  langsung terbang menuju puncak gunung.
“Wah, ternyata disini banyak pohon,” kata Si Ropru.
”Baru kali ini kita melihatnya”, balas Si Tekap.
Si Ropru dan Si Tekap mulai memetik daun-daun pohon untuk obat Si Pokai. Setelah itu mereka pulang sambil membawa daun obat yang baru mereka petik.
Sayangnya saat mereka sampai si Pokkai telah tiada. Para camar sedih kehilangan pemimpin yang baik hati dan suka menolong. Berita kematian Si Pokkai tersebar kemana-mana. Kelompok labbau juga mendengar berita kematian Si Pokkai. Mereka pergi ke tempat kelompok camar untuk menunjukkan kesedihannya.
Setelah kepergian Si Pokkai, pemimpin kelompok camar digantikan oleh anak Si Pokai yang bernama Si Boak. Tetapi watak Si Boak berbeda dengan ayahnya. Ia sangat angkuh dan sombong. Banyak temannya yang tidak menyukainya.
Pada suatu pagi burung-burung camar berkumpul di rimbunan pohon bakau. Si Boak datang dan tampil ke depan dengan sombong dan angkuh.
“Hai para camar, aku sekarang adalah pemimpin kalian. Aku tidak ingin ada kelompok lain berada di wilayah kekuasaanku. Mereka harus diusir”, kata Si Boak.
Tiba-tiba terdengar suara labbau, “Hai Saudara Boak, jangan berkata seperti itu, Tidak mungkin orang hidup tanpa orang lain”.
“Hei siapa kau?”, kata Si Boak yang sedang marah.
“Maafkan saya, bukan saya meremehkan Saudara. Kalau saudara mengusir kami, dimana kamii akan tinggal?”, kata si Labbau.
“Kau hanya makhluk lemah dan tidak pantas berbicara. Apa kehebatanmu, ayo kita bertanding!”, tantang Si Boak.
“Saya tantang saudara mengeliling pulau ini. Jika saudara kalah, maka kami tetap tinggal di akar bakau. Tetapi kalau saya kalah, kami akan pergi dari sini”, kata Labbau.
”Baik saya setuju, kita bertanding besok”, balas Si Boak.
Pagi pun tiba. Sebelum pergi ke tempat pertandingan para keong menyebar di sepanjang jalur pertandingan. Sementara di tempat para camar, Si Boak sudah menunggu. siap memulai pertandingan.
“Bagaimana keong, kamu sudah siap?”, kata Si Boak dengan angkuhnya,
 “Saya sudah siap”, jawab keong.
Mereka pun bersiap-siap untuk berlari. Pertandingan dimulai. Si Boak berlari dengan cara terbang. Sedangkan Si Keong merangkak di tanah. Ketika melewati pohon-pohon Bakau Si Keong mengambil kesempatan untuk menyelinap ke akar-akar bakau.;
“Dimana Kamu Keong?” tanya Si Boak sambil terbang.
“Saya ada disini”, jawab keong lain yang sedang menunggu di jalur pertandingan.
Mendengar jawaban itu, Si Boak menambah kekuatan terbangnya.
“Dimana Kamu Keong?”, tanya Si Boak lagi, setelah terbang beberapa jauh.
“Ya, saya ada disini”, jawab keong yang lain lagi,
Si Boak semakin menambah kecepatan terbangnya. Dia khawatir Si Keong dapat mendahuluinya. Setiap dia bertanya, Si Keong selalu menjawab di depannya.
Sampai akhirnya Si Boak tidak kuat lagi untuk menambah kecepatannya. Sayapnya mulai letih. Akhirnya ia terjatuh di laut dan dimakan ikan hiu. Tamatlah riwayat Si Boak dalam pertandingan melawan keong. Kelompok keong akhirnya bisa mempertahankan tempat tinggal mereka
Setelah kejadian itu, berkumpulah semua Keong melakukan pesta kemenangan mereka. Sedangkan kelompok camar sedih atas kematian Si Boak, walaupun mereka tidak suka kepemimpinannya.

Jumat, 01 April 2016

PUMUMUAN SIPEU DI SIMATALU


Hari itu, tampak seorang lelaki setengah baya berjalan seorang diri menuju ke hutan untuk mencari kayu bakar. Saat sedang asyik mengumpulkan ranting-ranting kayu yang sudah kering, tiba-tiba ia melihat sebatang pohon sipeu (nama buah yang terdapat di Siberut Barat). Rupanya, pohon sipeu itu sedang berbuah lebat dan mulai masak. Maka, ia pun membuat garis lingkaran di tanah mengelilingi batang pohon itu.
“Semoga buah pohon sipeu ini jatuh di dalam lingkaran yang ku buat ini sehingga akan menjadi milikku,” gumam lelaki setengah baya itu dengan penuh harapan.
Usai berkata demikian, lelaki setengah baya itu pun pulang sambil memikul kayu bakar yang telah dikumpulkannya. Selang beberapa saat kemudian, datang pula seorang lelaki lain di tempat itu. Saat melihat garis lingkaran di bawah pohon sipeu itu, ia pun tertarik untuk membuat garis lingkaran yang lebih luas.
“Ah, aku juga mau membuat garis lingkaran di sini. Semoga buah sipeu ini jatuh di dalam lingkaranku,” harapnya seraya meninggalkan tempat itu.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali si lelaki yang pertama kembali mendatangi tempat itu. Mulanya, ia merasa senang karena melihat ada sebuah sipeu yang sudah masak jatuh di garis lingkarannya. Namun, ketika hendak mengambil buah itu, tiba-tiba pandangannya tertuju pada sebuah sipeu lain yang lebih besar dan tergeletak di dalam garis lingkaran yang dibuat oleh orang lain. Pada saat itulah muncul sifat serakahnya.
“Ah, masak aku yang lebih awal membuat garis lingkaran hanya mendapatkan buah sipeu kecil?” gumamnya. “Selagi orang itu belum datang, sebaiknya aku tukar saja buah sipeu itu.”
Lelaki yang serakah itu cepat-cepat mengambil buah sipeu yang besar kemudian menaruh sipeu kecil miliknya ke dalam garis lingkaran orang lain. Setelah itu, ia bergegas kembali ke rumahnya dengan perasaan senang. Sepeninggal lelaki paruh baya itu, lelaki yang kedua pun tiba di tempat itu. Betapa senang hatinya saat melihat sebuah sipeu kecil tergeletak di dalam garis lingkarannya. Namun, ketika hendak mengambil buat itu, ia merasa ada sesuatu yang janggal pada tempat buah itu terjatuh. Jejak buah yang tercetak di tanah itu tidak sama dengan buah sipeu miliknya.  
“Hai, kenapa jejak buah sipeu ini jauh lebih besar daripada buahnya?” gumam lelaki itu, “Pasti ada sesuatu yang tidak beres.”
Merasa curiga, lelaki kedua itu pun segera memeriksa garis lingkaran milik orang lain. Dugaannya benar. Setelah mencocokkan jejak yang ada di garis lingkaran itu dengan buah sipeu yang dipegangnya ternyata ukurannya sama persis. Dengan perasaan kecewa, ia pun membawa pulang buah sipeu itu. Setiba di rumah, ia kemudian berpikir bahwa seseorang pasti telah berlaku tidak adil pada dirinya. Ia merasa telah ditipu dan tenggelam dalam perasaan resah. Tak mau berlama-lama terhanyut dalam perasaan tertipu dan resah, maka ia pun berniat untuk menyelidiki siapa yang telah melakukan kecurangan itu. 
“Ah, aku harus mencari tahu siapa orang yang telah menipuku itu,” tekadnya.
Keesokan harinya, lelaki yang kedua itu datang lebih pagi ke hutan. Ia kemudian memanjat pohon sipeu itu lalu mengambil dua buahnya dengan ukuran yang berbeda. Buah sipeu yang lebih besar diletakkan di garis lingkaran miliknya, sedangkan buah sipeu yang kecil diletakkan di garis lingkaran orang lain. Setelah itu, ia bersembunyi di balik semak-semak.
Tak berapa lama kemudian, lelaki yang pertama pun datang. Dengan cepat-cepat ia kembali menukar buah sipeu kecil yang jatuh di lingkrannya dengan buah sipeu besar milik orang lain. Lelaki kedua yang menyaksikan kejadian itu pun jadi tahu bahwa orang yang telah menipunya selama ini adalah tetangganya sendiri, orang sekampung di Simatalu. Karena tidak ingin terjadi pusabuat (perpecahan) di antara mereka, ia memilih mencari daerah baru untuk tempat tinggal.
Suatu hari, lelaki yang kedua beserta seluruh sanak keluarganya meninggalkan kampung Simatalu. Mereka berlayar tanpa arah dan tujuan yang jelas. Setelah beberapa hari mengarungi samudera, sampailah mereka di suatu daerah yang bermuara dua. Rombongan ini singgah sejenak di daerah itu dan memeriksa keadaan sekitar. Setelah memeriksa kondisi cuaca dan iklim, ternyata daerah tersebut dianggap tidak bagus untuk dijadikan tempat tinggal. Akhirnya rombongan ini memutuskan untuk meninggalkan daerah itu. Namun, sebelum pergi, mereka menamakan daerah tersebut dengan nama Dua Monga (dua muara).
Rombongan ini akhirnya melanjutkan pelayaran hingga sampai di suatu daerah yang lain. Ketika kapal mereka tiba daerah itu, anjing yang mereka bawa mendahului turun. Maka, daerah itu pun mereka namai Majojok. Setelah mereka memeriksa keadaan alamnya, ternyata daerah itu tidak cocok juga untuk dijadikan tempat tinggal. Akhirnya, mereka pun memutuskan untuk mencari daerah lain.
Setelah beberapa hari berlayar, rombongan pengembara itu sampai pada suatu daerah. Ketika hendak turun dari kapal, gelang salah seorang anggota rombongan terjatuh. Maka daerah itu mereka namakan Bele Raksok, yang artinya gelang jatuh. Usai memeriksa keadaan di sekitarnya, daerah itu juga dinilai masih belum cocok untuk dijadikan tempat tinggal.
Rombongan pun kembali berlayar hingga sampai di sebuah daerah di Siberut Selatan. Pemandangan di sekitar daerah tersebut sungguh mempesona. Pantainya berpasir putih sehingga tampak bagus dan indah. Mereka pun menamai daerah itu Bulau Buggei, yang artinya pasir putih. Namun, setelah diteliti, ternyata daerah itu masih dianggap kurang cocok sehingga mereka pun melanjutkan pelayaran.
Setelah beberapa hari berlayar, rombongan itu kembali berlabuh di sebuah daerah di Siberut Selatan. Oleh karena daerah itu memiliki banyak Muntei, maka mereka menamainya Muntei. Setelah diteliti, daerah itu juga tidak juga cocok dijadikan tempat untuk menetap. Akhirnya, mereka kembali meneruskan pelayaran. Di tengah perjalanan, rombongan itu mulai dilanda rasa putus asa.
“Sudah banyak daerah kita kunjungi, tapi belum juga ada yang cocok untuk dijadikan tempat menetap. Ingin kembali ke Simatalu juga sudah tidak mungkin,” ungkap salah seorang rombongan itu.
“Kalau begitu, sebaiknya kita meneruskan pelayaran,” ujar seorang anggota rombongan yang lain.
Akhirnya, rombongan itu kembali melanjutkan perjalanan hingga sampai di sebuah pulau yang banyak terdapat pohon Paddegat. Mereka pun menamai pulau itu Pulau Mapaddegat. Pulau ini kini termasuk ke dalam wilayah Sipora. Karena tempat itu tidak cocok untuk dijadikan tempat menetap, rombongan ini akhirnya meneruskan pelayaran.
Pelayaran kembali dilanjutkan hingga rombongan tiba di Tuapejat yang masih termasuk ke dalam wilayah Sipora. Setelah diteliti, daerah itu memiliki cuaca dan iklim yang bagus sehingga mereka pun memutuskan untuk menetap di sana. Mereka mulai membangun rumah dan membuka lahan perkebunan untuk ditanami. Daerah itu terus berkembang sehingga lama-kelamaan menjadi kampung yang ramai. Hingga kini, Tuapejat menjadi sebuah nama desa di wilayah Kecamatan Sipora Utara sekaligus sebagai ibukota Kabupaten Kepulauan Mentawai.
Demikian cerita dari daerah Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa perpecahan tidak akan terjadi sekiranya lelaki yang pertama mau berbuat jujur. Dia seharusnya mensyukuri apa yang telah menjadi rejekinya dan menghormati hak orang lain.  

simatalusikerei.simplesite.com